Dari refleksi acara sharing kelompok pada pertemuan Meditasi Kristiani hari Sabtu, 6 April 2013 yang lalu, saya kemudian mencoba merenungkan kembali perjalanan meditasi saya. Perjalanan yang cukup panjang dan berliku, dan terutama saya merasakan betapa sulitnya untuk setia dalam menggaungkan kata "maranatha" dengan sepenuh jiwa.
Mungkin pertama kali saya mengenal meditasi dari acara retret di Civita pada waktu saya masih di Sekolah Dasar. Pengalaman meditasi selama bersekolah hanya terjadi di dalam retret-retret yang saya ikuti. Pada awal tahun 2000an, saya mulai mengenal meditasi Kitab Suci bersama teman-teman di Bumi Serpong Damai (BSD) dibimbing oleh Sr. Jeanne Hartono, OSU. Pertama kali mengenal metode meditasi Kitab Suci yang kemudian saya ketahui disebut juga sebagai Lectio Divina, ada kebingungan karena meditasi bagi saya adalah identik dengan keheningan seperti yang saya kenal di acara retret waktu sekolah dulu. Tetapi ternyata meditasi ini sangat banyak membantu saya dalam mengenali diri saya sendiri. Sejak tahun 2006 saya mulai menulis Blog Journey to His Words. Tahun 2010 Sr. Ignatio, OSU menggantikan Sr. Jeanne dalam membimbing kami. Kemudian, bersama beliau kami belajar mengenal metode Meditasi Kristiani. Perjalanan untuk sungguh-sungguh masuk ke dalam keheningan doa ini cukup berat, dan terkadang saya gambarkan dalam tulisan di blog seperti ketika saya menulis "Doa dan KehadiranNya."
Melalui Program Pengajaran 6 Minggu Meditasi Kristiani, saya mencoba untuk belajar melepaskan diri dari ego dan keinginan pribadiku. Walaupun menyadari bahwa Pusat Roda Doa adalah Tuhan, tapi saya harus melalui perjalanan berliku untuk tetap setia bermeditasi dengan mantra "Maranatha." Bersama dengan itu, saya belajar untuk mengenali jeruji-jeruji doa meditasi. Dalam pertemuan Sabtu kemarin, saya merasa sentilanNya untuk Percaya dan Setia. Seringkali cukup sulit untuk mengucapkan mantra Maranatha dan mengosongkan diri untuk memberi kesempatan bagiNya untuk datang.
Kalau pada awalnya saya masih mengalami kegelisahan dalam mengucapkan "Maranatha", maka justru ketika sekarang saya bekerja penuh sepanjang hari maka kata mantra ini sangat membantu saya untuk masuk ke dalam keheningan. Rupanya kelelahan fisik dan penuhnya pikiran justru terbantu dengan kesederhanaan kata yang bermakna "Datanglah Tuhan" ini. Saya masih terus belajar untuk mengucapkan "Maranatha" dari hati, bukan dari pikiran yang cenderung untuk menganalogikannya dengan kebutuhan saya pada saat itu, melainkan sungguh-sungguh mengosongkan diri untuk menerima kehadiranNya.