Pages

Saturday, February 8, 2014

PERJALANAN MEDITASI

Menurut John Main, perjalanan meditasi pada intinya adalah “sebuah peziarahan ke dalam hati kita sendiri”, tempat yang paling kudus, di mana Kristus tinggal. Meditasi adalah menemukan “hidup Roh Yesus di dalam hati kita.”

Ada tahapan-tahapan yang berbeda yang harus kita lalui dalam perjalanan ini. Meskipun tahapan tersebut disuguhkan secara garis lurus dalam surat-surat selanjutnya, kita harus memahami dengan baik bahwa perjalanan ini adalah sebuah perjalanan memutar yang saling tumpang tindih, tingkatan diperdalam dengan memunculkan kembali tahapan-tahapan, menyatukan dan mengubah.
Saat pertama kali kita mulai bermeditasi, biasanya hanya sekali seminggu atau sekali sehari, disiplin ini terasa mudah dan kita memulainya dengan bergairah dan benar-benar berkomitmen pada periode meditasi kita. Tak lama kemudian, antusiasme awal ini diuji dan komitmen yang lebih dalam diperlukan untuk disiplin ini, suatu komitmen untuk dengan teguh menyatukan dua kali sesi meditasi ini ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan berjalannya waktu, latihan pengulangan mantra yang teratur ini secara berangsur-angsur membuat kita dapat meninggalkan pikiran-pikiran sadar kita. Ada saat-saat keheningan dan kediaman sejati serta sekilas kedamaian, kasih dan sukacita. Inilah saatnya untuk waspada akan adanya godaan untuk melekat pada pengalaman-pengalaman tersebut. Kita harus terus berlatih tanpa mengharapkan atau menuntut ‘hasil’ apapun juga. Pada waktunya, disiplin ini menjadi kebutuhan yang sejati.
Namun dari keheningan tersebut muncul tingkat pikiran yang berbeda – kenangan-kenangan yang ditekan, emosi-emosi dan kecemasan. Semua itu terkadang menyakitkan dan kita rasanya ingin menolak untuk duduk diam. Hal ini tidak mengejutkan, seperti yang dikatakan oleh Walter Hilton, mistikus Inggris dari abad ke 14: “ jika seseorang pulang ke rumah dan tidak menemukan apa-apa selain asap api dan istri yang mengomel, dia akan segera pergi lagi”. Namun pelepasan emosi yang dulu ditekan ini sangatlah diperlukan: kita mengeluarkan airmata yang  dulu seharusnya kita keluarkan, kemarahan dan kejengkelan yang tidak dapat kita ungkapkan pada waktu yang tepat perlu kita keluarkan. Ketika kita mengetahui perasaan-perasaan tersebut dan membiarkannya terbebas, jiwa kita mengalami penyembuhan. Kita tidak perlu memahami dari mana perasaan-perasaan tersebut berasal, kita juga tidak perlu menanggapinya; sebaliknya, kita hanya perlu menerimanya sebagai kenyataan. Sr. Eileen O’Hea biasa menyebut perasaan-perasaan yang ditekan dan dibekukan ini sebagai ‘bongkahan es’, yang ketika kita membiarkannya muncul, akan meleleh dalam kasih dan cahaya Kristus.
Bisa juga terjadi, saat kita telah bermeditasi untuk beberapa lama, kita diserang oleh sesuatu yang disebut oleh Bapa dan Ibu Padang Gurun sebagai ‘setan acedia’. Setan ini mewujudkan dirinya sebagai rasa ketidak tertarikan pada meditasi dan jalan rohani; kita bosan dan segalanya tampak sia-sia. Kita mengira kita dapat menemukan hal-hal lain yang lebih berguna untuk dikerjakan daripada duduk bermeditasi. Kita menyalahkan orang lain dan lingkungan atas kurangnya perhatian kita. Inilah saat kekeringanm, kebosanan, gelisah, dan gangguan, dengan keheningan batin sesuatu dari masa lampau. Inlah ‘pengalaman padang gurun’ kita. Inilah waktunya ujian rohani kita; kita ingin menyerah. Yang dapat kita lakukan pada saat ini hanyalah bertahan dalam kesetiaan pengulangan mantra. Kita menerima kebutuhan kita akan Allah dan percaya bahwa Allah menuntun kita, selalu hadir tak peduli apapun juga, mengasihi kita dan tidak akan pernah mengijinkan kita untuk mencoba di luar kekuatan kita.
Kita mulai dengan antusiasme, komitmen kita pada latihan harian bertumbuh, tetapi pada suatu saat tak terhindarkan lagi kita menghadapi ‘setan acedia’.  Kita mulai merasa bosan dan gelisah; kita merasa seolah-olah kita memasuki padang gurun. Thomas Merton, membicarakan pengalaman ‘padang gurun’ ini berkata, “Hanya pada saat kita dapat ‘melepaskan’ segalanya di dalam diri kita, semua keinginan untuk melihat, untuk mengetahui, untuk mengecap dan untuk mengalami konsolasi Allah, barulah kita benar-benar dapat mengalami kehadiran-Nya.”
Meditasi membutuhkan sebuah ‘pelepasan’, dan dengan demikian ‘pengalaman padang gurun’ adalah sebuah pengalaman yang memurnikan. Ini sebuah tantangan untuk mengatasi keterpusatan kita pada diri kita sendiri dan untuk bermeditasi tanpa imbalan, tanpa mengetahui kemana Roh Kudus membawa kita, untuk tetap bermeditasi meskipun diserang oleh gangguan-gangguan yang mendalam ini. Selama kita bertahan dan tetap setia untuk duduk melakukan latihan kita apapun yang terjadi, pada akhirnya kita akan menerobos semua halangan dan akan dibawa menuju pengenalan diri yang sejati, dimurnikan dan dikuatkan. Dengan demikian, padang gurun juga adalah jalan kita menuju Tanah Terjanji, karena menurut Evagrius, Bapa Padang Gurun: “Tidak ada setan lain yang mengikuti lebih dekat pada tumit Iblis acedia selain keadaan damai yang mendalam dan sukacita yang tak terkatakan yang keluar dari perjuangan ini”.
Para Bapa dan Ibu Padang Gurun menyebut ‘Kedamaian yang mendalam dan sukacita yang tak terungkapkan’ ini dengan sebutan ‘apatheia’, suatu ketenangan yang mendalam dan tak tergoyahkan, jiwa yang benar-benar telah disembuhkan. Mereka tahu bahwa ‘apatheia’ atau ‘kemurnian hati’ adalah syarat untuk memasuki ‘Kerajaan Allah’, berada dalam Hadirat Allah.
Yang paling dicari oleh para Bapa Padang Gurun adalah diri sejati mereka dalam Kristus. Untuk dapat melakukannya, mereka harus sepenuhnya menyangkal diri palsu yang diciptakan di bawah paksaan sosial ‘dunia’. (Thomas Merton)
Oleh karenanya ‘diri sejati kita dalam Kristus’ akan bersinar, ketika aliran pikiran dan perasaan telah ditenangkan, ketika topeng-topeng ego dan gambaran-gambaran diri palsu telah runtuh dan emosi-emosi dimurnikan. Kita kemudian mengenal diri kita sebagai ‘anak-anak Allah’, diciptakan sesuai dengan ‘citra dan keserupaan’ Allah. Ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan sukacita ini pada dasarnya adalah kesadaran sempurna, keterjagaan super. Kita kemudian menjadi ‘benar-benar hidup’.
Dari situ mengalirlah tahap akhir yaitu ‘agape’, pengalaman yang tertinggi, suatu rasa kebersatuan dan kesadaran universal, kasih Allah yang tak bersyarat. Dunia bentuk dan semua konsep pikiran yang dapat diketahui akan ditransendensikan. Kita tahu bahwa “Allah tak dapat dihitung dan tidak memiliki bentuk-bentuk luar” dan kita “melihat keajaiban cahaya roh kita sendiri, dan mengenal cahaya tersebut sebagai sesuatu di luar roh kita akan tetapi menjadi sumbernya”. (John Main) Kita tahu roh kita bersatu dengan Roh Kudus. Kita telah memasuki aliran kasih antara Sang Pencipta dengan yang diciptakan. Kita telah kembali ke rumah.
‘Pertama-tama seseorang harus dikembalikan kepada dirinya sendiri, dibuat di dalam dirinya seperti batu pijakan, kemudian dia dapat bangkit dan dilahirkan kembali serupa dengan Allah”. (St. Agustinus)


Kim Nataraja

No comments:

Post a Comment